Semua jamaah di tanggal 09 Dzulhijjah telah bergerak menuju Arafah. Kawasan yang berjarak 22 km dari Mekkah, berjarak 10 km dari Mina dan berjarak 6 km dari Muzdalifah. Tak ada satupun yang mau melewatkan momen di Arafah ini. Bahkan jamaah haji yang sakit pun tetap diberangkatkan menuju Arafah mengendarai ambulans. Tak sedikit jamaah haji yang berjalan menuju Arafah. Mereka hendak menjalankan wukuf: bagian terpenting dari ibadah haji. Tak ada ibadah haji (yang sah di mata syariat) kecuali dengan melaksanakan wukuf di Arafah. Proses wukuf dimulai pada waktu tengah hari: saat matahari bergeser dari titik tengah langit.
Arafah memang istimewa. Allah Swt bahkan bersumpah dengan mengatasnamakan “Arafah” meskipun tidak menggunakan redaksi yang eksplisit. Jika merujuk pada Ulumul Qur’an (Studi Ilmu Al Qur’an), di dalamnya ada pembahasan mengenai “qasam” (sumpah). Secara ringkas, para ulama menyebutkan, ada dua tujuan sumpah: pertama, untuk menunjukkan adanya keutamaan (fadhilah) dan kedua, untuk menjelaskan adanya manfaat. “Demi Gunung Thursina” adalah contoh yang menjelaskan tentang adanya keutamaan dalam hal yang dijadikan sebagai sarana sumpah. Di lain tempat, Al Quran memberikan contoh “Demi Buah Tin dan Zaitun”. Contoh ini hendak memberikan pesan tentang manfaat besar yang terkandung dalam dua buah tersebut.
Dalam Al Qur’an Surat Al Buruj ayat 3, Allah Swt berfirman, ( وشاهد ومشهود). Ada beberapa ragam penafsiran memang dalam ayat tersebut. Imam Al Razi, dalam magnum opus-nya yang mengagumkan itu, Mafatih al Ghayb, mengetengahkan beberapa penjelasan. Mengutip pendapat Al Qaffal, kata syahid dan masyhud dalam ayat tersebut yang paling tepat dimaksudkan untuk menunjukkan makna “hudhur” (keberadaan atau kehadiran).
Baca Juga: Haji dengan Bersuka Hati: Menuju Arafah dengan Berpasrah (Bagian 1)

Jika sependapat dengan tesis ini, maka menurut Muhammad ibn Umar ibn Al Hasan ibn Al Husayn atau yang lebih masyhur dengan nama Al Razi (544 – 604 H), ayat tersebut bisa mempunyai lima wajah penafsiran. Salah satu dari lima penafsiran itu adalah pendapat ketiga yang relevan dengan tulisan ini. Kata “masyhud” dalam ayat tersebut mempunyai makna hari Arafah. Kata “syahid” memiliki arti para jamaah haji yang hadir dan berada di Arafah. Jika demikian, maka keberadaan ayat tersebut hadir dalam rangka menegaskan keutamaan yang ada pada hari Arafah dan orang yang melaksanakan ibadah haji. Lantas apakah keistimewaan hari Arafah sehingga Allah Swt sampai bersumpah atas namanya?
Satu hadits riwayat Abu Hurairah bisa memberikan gambaran tentang keutamaan hari Arafah. “Sesungguhnya Allah Swt memperlihatkan rasa bangganya atas para jamaah haji yang berwukuf di Arafah kepada para malaikat dan memperlihatkan kebaikan dan keutamaan mereka. Allah Swt berseru, “Lihatlah, ketaatan mereka kepada-Ku! Mereka menahan penat dan payah di jalan-Ku. Mereka mendatangi-Ku dengan rambut yang kusut dan wajah kusam berdebu”.
Rasa bangga Allah Swt pada para jamaah haji di hadapan malaikat seperti sedang menegaskan tentang keutamaan manusia dibandingkan malaikat. Terlebih, ada keraguan malaikat terhadap kualitas manusia sewaktu Allah Swt menciptakan dan menempatkannya sebagai khalifah di bumi. Al Quran menggambarkannya dalam redaksi, “Apakah Engkau menjadikan manusia untuk menempati bumi padahal dia akan merusaknya”.
Dalam satu hadits dari Sayyidah Aisyah Ra, Nabi Saw menyampaikan, “Tak ada hari dimana Allah Swt begitu banyak membebaskan hambanya dari neraka kecuali pada hari Arafah. Sungguh Allah Swt mendekat ke arah hamba-hamba-Nya dan menunjukkan rasa bangga-Nya atas jamaah haji kepada para malaikat. Allah Swt bertanya, apa yang hamba-hamba-Ku inginkan?” Para jamaah haji rela meninggalkan keluarganya, menyisihkan penghasilannya dan menangggung kepenatan dan kepayahan yang begitu berat demi mendapatkan ampunan, rido dan kedekatan dengan Allah Swt. Semuanya itu akan dikabulkan oleh Allah Swt.
Arafah, 9 Dzulhijjah 1445 H