Mulai Jumat 8 Dzul Hijjah 1445 H atau yang bertepatan dengan 14 Juni 2024, mayoritas para jamaah haji akan berduyun-duyun bergerak menuju Arafah untuk melaksanakan wukuf keesokan harinya, Sabtu 9 Dzulhijjah 1445 H/ 15 Juni 2024. Selepas melafalkan niat berhaji di pemondokan masing-masing, mereka menaiki bus atau kendaraan lain menuju Arafah. Sepanjang jalan dari Mekkah menuju Arafah akan penuh dengan gemuruh suara talbiyah. Labbayka Allahumma Labbayk. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah.
Mengapa hanya mayoritas jamaah haji yang bergerak menuju Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah? Bukankah ‘puncak haji adalah (berwukuf) di Arafah? Sebab sebagian kecil dari jamaah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah tidak berangkat menuju ke Arafah, melainkan pergi ke Mina untuk bermalam di Mina satu malam sebelum kemudian keesokan harinya pada tanggal 9 Dzulhijjah baru menuju Arafah. Momen menginap di Mina satu malam sebelum pelaksanaan wukuf ini yang disebut dalam literatur sebagai “yawm al tarwiyyah” (hari Tarwiyyah).
Imam Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah (541 – 620 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Qudamah menjelaskan alasan mengapa hari tersebut diberi nama hari Tarwiyyah dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Mughni. Menurut Ibn Qudama, seorang ulama kelahiran Nablus Palestina, ada dua alasan mengapa disebut hari Tarwiyyah. Pertama, karena para jamaah haji biasanya akan meminum (yatarawwa) dan mengambil air yang tersedia di Mina sebagai persiapan berwukuf di Arafah. Alasan yang kedua adalah karena nabi Ibrahim As bermimpi pada waktu malamnya, di tanggal 8 Dzulhijjah, menyembelih putranya. Keberadaan mimpi membuatnya bertanya-tanya (yurawwi fi nafsihi) dalam hati, “Apakah ini mimpi? Atau perintah dari Tuhan?”
Dua alasan penamaan hari Tarwiyyah yang disampaikan Ibn Qudamah sesungguhnya memberikan pesan yang kuat kepada para jamaah haji sebelum melaksanakan wukuf di Arafah. Terlebih wukuf di Arafah adalah rukun haji terbesar sebagaimana sabda Nabi Saw “al Hajj ‘Arafah”: tidak lah sah ibadah haji tanpa melaksanakan wukuf di Arafah.

Penjelasan Syeikh Mutawalli al Sha’rawi (1329 – 1419 H) dalam buku menariknya yang berjudul Al Hajj Al Mabrur bisa memberikan gambaran apa sesungguhnya pesan bagi jamaah haji yang hendak menuju ke Arafah. Menurut Syeikh Mutawalli al Sha’rawi, Arafah adalah tempat dimana nabi Ibrahim As mengalami kegundahan dan keragu-raguan (jika boleh menggunakan istilah ini) dalam hatinya terkait apakah benar perintah menyembelih putra terkasihnya tersebut datang dari Allah Swt atau bukan. Setelah bertafakur dan merenung di tempat ini dan menemukan keyakinan juga mengetahui (‘arafa) serta menyadari bahwa perintah tersebut datang dari Allah Swt, maka tempat tersebut lantas dinamakan sebagai ‘Arafah.
Pesan yang paling kuat bagi para jamaah haji sebelum memasuki Arafah adalah perlunya kesadaran diri akan statusnya sebagai seorang hamba. Tanggalkan segenap ego pribadi dan kebanggaan pada status sosial yang disandangnya. Di Arafah, status semua manusia sama: hamba-hambanya Allah Swt semata. Syeikh Mutawalli al Sya’rawi menyebutnya, “di Arafah, kamu harus mengikat kuat hasrat dan keinginanmu sehingga tak ada lagi ruang hati untuk memilih hal yang berkaitan dengan waktu dan tempat yang sesuai dengan keinginanmu.” Ini bermakna, manusia sewaktu di Arafah tak lagi mempunyai kemerdekaan atas dirinya. Apapun keadaan yang dialami dan dijalaninya di Arafah adalah bagian dari ketentuan Allah Swt. Yang harus dilakukannya adalah menerima dengan ikhlas sebagai wujud dari kepasrahan yang paripurna terhadap keputusan Allah Swt.
Hikmah terbesar dari keberadaan ibadah yang disertai dengan batasan yang sangat ketat kepada manusia sebagaimana wukuf di Arafah adalah berupa dilipatgandakannya pahala ibadah tersebut. Jamaah haji yang melaksanakan wukuf tak bisa memilih tempat yang disukainya dan tak bisa juga memilih waktu yang menjadi preferensinya. Maka tak mengherankan jika pahala yang diberikan oleh Allah Swt kepada para jamaah haji yang melaksanakan wukuf begitu luar biasa.
Misfalah, 6 Dzulhijjah 1445 H