Haid merupakan salah satu pengalaman biologis perempuan yang umumnya datang setiap bulan. Ia menjadi mani’ (penghalang) seorang perempuan dalam melaksanakan ibadah fardhu seperti sholat dan puasa. Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan, jika puasa wajib untuk diqadha, sedangkan sholat tidak. Hal ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
الْفَرْقُ بَيْنَ الصَّلَاةِ فِي الْقَضَاءِ وَالصَّوْمِ فِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ لُحَوْقُ الْمَشَقَّةِ فِي قَضَائِهَا لِلصَّلَاةِ دُونَ الصِّيَامِ فَزَادَتِ الْمَشَقَّةُ فِي قَضَائِهَا وَقَلِيلَةُ الصِّيَامِ وَعَدَمُ الْمَشَقَّةِ فِي قَضَائِهِ
“Perbedaan antara qadha` shalat dan puasa bagi wanita haid adalah adanya masyaqqah (kesulitan) dalam mengqadha` shalat (setelah suci), berbeda dengan puasa. Karenanya, (jika wanita haid) itu wajib mengqadha` shalat yang ditinggalkan maka akan bertambah masyaqqah-nya. Dan sedikitnya puasa dan tidak ada masyaqqah dalam mengqadha`nya.” (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H, I: 373)
“Perbedaan antara qadha` shalat dan puasa bagi wanita haid adalah adanya masyaqqah (kesulitan) dalam mengqadha` shalat (setelah suci), berbeda dengan puasa. Karenanya, (jika wanita haid) itu wajib mengqadha` shalat yang ditinggalkan maka akan bertambah masyaqqah-nya. Dan sedikitnya puasa dan tidak ada masyaqqah dalam mengqadha`nya. (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H, I: 373)
Secara umum shalat memang tidak wajib diqadha’, namun ada beberapa shalat yang tetap harus diqadha’ sebab ditinggalkan saat sudah memungkinkan untuk dilaksanakan. Seseorang yang datang haid setelah masuknya waktu sholat, jika masuknya waktu sholat tersebut hingga datangnya penghalang (haid) masih cukup untuk melakukan sholat seringan mungkin (sholat dengan hanya mengerjakan rukun-rukunnya saja, atau sholat qashar bagi musafir), maka jika ia belum melaksanakan sholat tersebut, ia wajib mengqadha’ shalat yang diwajibkan pada waktu itu saja.
Namun jika perempuan yang mengalami haid adalah orang yang sering berhadas (beser), maka minimal waktunya adalah waktu yang dapat digunakan untuk shalat serta bersuci.
Misalnya, waktu sholat dhuhur tiba jam 11.30, jam 11.35 perempuan tersebut haid dan belum melaksanakan sholat, padahal secara perkiraan waktu 5 menit cukup baginya mengerjakan sholat dengan hanya melakukan rukun-rukunnya saja, maka ia wajib mengqadha’ sholat dhuhur tersebut.
Atau misalnya seorang perempuan yang begitu masuk waktu dhuhur langsung sholat, ia memanjangkan sholatnya tersebut. Ternyata saat tasyahud akhir ia mengeluarkan darah haid, maka jika sudah suci, ia wajib mengqadha’ sholat dhuhur tersebut, sebab seandainya sholat tersebut dilaksanakan dengan hanya mengerjakan rukun-rukunnya saja, niscaya ia mampu menyelesaikan sholatnya.
Jika perempuan yang haidnya berakhir di pertengahan waktu sholat, jika waktu tersebut ada sisa waktu yang cukup mengerjakan takbiratul ihram saja, maka ia wajib mengerjakan sholat pada waktu itu saja, misalnya ketika ia suci di waktu Subuh, Dhuhur atau Maghrib.
Namun bila sholat sebelumnya bisa dijama’, maka kedua sholat tersebut wajib dikerjakan. Misal jika ia suci sesaat menjelang Maghrib yang diperkirakan jika digunakan sholat cukup mengucapkan takbiratul ihram saja, maka ia wajib mengqadha’ Ashar dan Dhuhur sekaligus. Hal ini seperti dijelaskan dalam sebuah hadis:
اذا طهرت الحائض قبل ان غرب الشمس صلت الظهر والعصر واذا طهرت قبل الفجر صلت المغرب والعشاء. رواه ابو داود
“Ketika wanita haid suci sebelum tenggelamnya matahari, maka ia berkewajiban shalat Dhuhur dan Ashar, dan jika ia suci sebelum fajar maka ia wajib melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’.” (HR. Abu Dawud).
Mengapa sholat tersebut harus diqadha’?
وَيَجِبُ الظُّهْرُ مَعَ الْعَصْرِ بِإِدْرَاكِ قَدْرِ زَمَنِ تَكْبِيرَةِ آخَرِ وَقْتِ الْعَصْرِ وَتَجِبُ الْمَغْرِبُ مَعَ الْعِشَاءِ بِإِدْرَاكِ ذَلِكَ آخَرِ وَقْتِ الْعِشَاءِ لِاتِّحَادِ وَقْتَيْ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَوَقْتَيْ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي الْعُذْرِ، فَفِي الضَّرُورَةِ أَوْلَى
“Dan wajib mengqadha’ shalat Dhuhur beserta Ashar jika menemui waktu kira-kira cukup untuk membaca takbiratul ihram saat akhir waktu Ashar dan wajib mengqadha shalat Maghrib beserta Isya saat menemui akhir waktu Isya karena menyatunya dua waktu shalat Duhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya dalam hal udzur (seperti ketika jamak ta’khir dalam keadaan safar), maka saat darurat (seperti haid) keadaan semacam itu lebih baik untuk dilakukan.” (Al-Bujairami, II/40).