Bagaimana hukum berbohong demi haji? Terdapat sebagian orang berbohong saat memberikan keterangan yang diminta pemerintah setempat demi menunaikan ibadah haji. Apakah diperbolehkan berbohong dengan keterangan seperti itu? atau bolehkah seorang sopir, misalnya, berbohong bahwa ia pernah menunaikan ibadah haji demi mendapatkan pekerjaan sebagai sopir pada musim haji? atau bolehkah melewati batas waktu yang diberikan untuk melakukan ibadah dengan cara menetap di tanah suci dengan tujuan bekerja atau beribadah?
Telah ditetapkan dalam syariah Islam bahwa seseorang harus mematuhi dan mengikuti peraturan yang berlaku di negara setempat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan syariah. Allah SWT telah memerintahkan pada kita semua agar menjaga ketaatan kepada pemerintah yang mengatur dalam sebuah negara dimana kita berpijak. Berdasarkan firman Allah Swt:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ (سورة النساء: ٥٩)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (An-Nisa: 59)
Sedangkan dalam hadist juga diberitakan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ. فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ (رواه البخاري)
Artinya: Dari Abdullah ra, dari Nabi saw bersabda: Mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik dalam hal yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan. Adapun jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada (kewajiban) mendengar maupun menaati. (HR. Al-Bukhori)
Disaat yang bersamaan, pihak pemerintah dianjurkan agar selalu memperhatikan kemaslahatan rakyat sebab kebijakan seorang pemimpin terikat dengan etika menjaga kemaslahatan rakyat, dalam sebuah kaedah fiqh disebutkan:
تَصَرُّفَ الإمام على الرعية مَنُوطٌ بالمصلحة
Artinya: Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahah
Sebaliknya, peraturan dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah perlu disambut dengan tangan terbuka oleh rakyat dengan cara mendukung dan mengikuti ketetapan yang telah diputuskan. Hal ini juga berlaku bagi warga negara asing yang bertamu di negara tujuan, mereka wajib mengikuti peraturan yang berlaku, dan dilarang melanggar peraturan tersebut.
Jika seorang warga negara asing berbohong saat memberikan keterangan pribadinya dengan tujuan mengelabui peraturan pemerintah setempat, sudah dapat pastikan perbuatan ini bertentangan dengan syariah. Perbuatan bohong sangat dilarang dalam agama Islam, banyak riwayat hadist yang menjelaskan larangan ini, diantaranya yaitu:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو الرَّبِيعِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِن َخان. (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman Abu ar Rabi’] berkata, telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin Ja’far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Nafi’ bin Malik bin Abu ‘Amir Abu Suhail] dari [bapaknya] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat“. (HR. Al-Bukhori)
Segala bentuk perbuatan berbohong dilarang dalam syariah, meski terdapat pengecualian pada kondisi tertentu saja. Seperti yang tertuang dalam hadist berikut ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ ح و حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ وَأَبُو أَحْمَدَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذي)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar], telah menceritakan kepada kami [Abu Ahmad Az Zubairi], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] ia berkata (dalam riwayat lain) Dan telah menceritakan kepada kami [Mahmud bin Ghailan], telah menceritakan kepada kami [Bisyr As Sali] dan [Abu Ahmad] keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Abdullah bin Utsman bin Khutsaim] dari [Syahr bin Hausyab] dari [Asma` binti Yazid] ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kedustaan itu tidak halal kecuali pada tiga hal; seorang suami yang berbicara terhadap isterinya agar ia ridla padanya; kedustaan pada peperangan; dan kedustaan yang dilakukan dalam rangka untuk mendamaikan (sesama) manusia.” (HR. At-Tirmidzi).
Berdasarkan ayat suci al-Quran dan hadist di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya mengikuti peraturan pemerintah setempat hukumnya wajib selama tidak bertentangan syariah Islam. Sehingga seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji atau mencari pekerjaan saat pelaksanaan ibadah haji dengan cara melanggar peraturan yang berlaku di negara setempat (Saudi Arabiah) tidak diperbolehkan dalam syariah. Bahkan orang yang berniat untuk ibadah setelah masa izin tempat tinggalnya habis juga dilarang dalam agama karena ia tidak mengikuti (taat) aturan pemerintah setempat.
*Disarikan dari Dar al-Ifta’ al-Misriyah, Nomor: 2282