Acapkali seseorang beranggapan akal sebagai pengendali perilaku manusia sekaligus sumber pengetahuan. Bahkan yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal. Anggapan ini akan melahirkan kesimpulan bahwa seseorang tidak disebut manusia jika tidak menggunakan akalnya. Dampaknya, orang gila tidak lagi dinamakan manusia karena akalnya sudah tidak berfungsi kembali, dengan alasan sederhana bahwa jati diri manusia hanya diukur dengan akal semata. Dari sini, kita perlu merekayasa ulang, apa sebenarnya makna akal itu sendiri.
Bagi anda yang pernah melihat dan memperhatikan busana laki-laki Arab Saudi, anda akan mendapatkan penampilan mereka menggunakan ikat kepala untuk menahan sorban agar tidak mudah lepas dari kepala. Pengikat kepala ini dinamakan ‘iqolun (عِقَال), dengan akar kata ‘aqlun (عَقْلٌ). Pemakaian kata ini berasal dari kebiasaan orang arab pada zaman dahulu, saat mereka menunggangi atau membawa unta dapat dipastikan tali pengikat selalu menempel dileher hewan mamalia yang berkaki panjang ini, tujuannya agar unta tidak mudah lepas dari genggaman pemiliknya. Dalam mu’jam al-ma’ani digambarkan dengan susunan sebuah kalimat, seperti: كأَنه عُقِلَ له شيءٌ أَي حُبسَ عليه عَقْلُه / seakan-akan sesuatu itu diikat dengan “akal”nya. Dengan begitu, kata akal disini menunjukan makna pengikat.
Dalam perkembangan peradaban, sekitar awal abad ke-9 M. bangsa Arab banyak menerjemahkan pengetahuan dari penjuru dunia, termasuk diantaranya dari Yunani kuno. Mula-mula salah satu kata yang wajib diterjemahkan dari Yunani yaitu logos, yang bermakna sabda atau buah pikian yang diungkap dalam perkataan. Orang Yunani yakin bahwa pengetahuan berasal dari lima pancaindra manusia, langkah berikutnya dibawa kedalam otak. Selanjutnya pengetahuan indrawi ini diikat menjadi sebuah pikiran dan dilontarkan kembali melalui ucapan. Para ilmuwan bangsa Arab seraya bersepakat kata logos sepadan dengan ‘aqlu (عقل).
Memang tidak salah jika kata ‘aqlun/akal disepadankan dengan logos, karena makna dasarnya adalah pengikat. Akan tetapi, kurang tepat apabila ‘aqlun/akal menjadi pengendali dan pengatur keseluruhan perilaku manusia. Ibarat unta, tali pengikat pada leher hewan ini hanya berfungsi sebagai ALAT/SARANA pengendali unta bukan pengendalinya itu sendiri, hanya pemilik unta yang mampu pengendalikan hewan tersebut. Akal hanya dapat beraktivitas saat diberdayakan dan difungsikan pemiliknya, dan akan terdiam manakala pemilik menginginkan berhenti beraktivitas. Maka tidak heran jika kata aqlun/akal dalam al-Qur’an menggunakan kata kerja dan tidak memakai kata benda, karena akal bukanlah sebuah wujud yang mandiri. Semisal salah satu ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (العنكبوت: ٦٣)
Artinya: Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak MEMAHAMI(nya).
Meskipun terjemah al-Quran dari kata لَا يَعْقِلُونَ adalah “mereka tidak memahami”, namun terjemahan ini sebenarnya sudah disesuaikan dengan susunan kalimat dalam ayat tersebut. Karena pada hakikatnya akal bukanlah pengendali utama dalam memahami langit dan bumi seperti yang tertuang dalam ayat diatas, akal hanya sebagai sarana memahaminya. Akal dikendalikan oleh sebuah entitas/wujud untuk memahami segala sesuatu, yaitu hati/قَلْبٌ/Qolbun. Kata hati/قَلْبٌ/Qolbun disebutkan berulangkali dalam al-Quran, salah satunya seperti pada ayat berikut ini:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (محمد:٢٤)
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad: 24]
لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (الأعراف:١٧٩)
Artinya: mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [Araf: 179]
Selain al-Qur’an, dalam Hadist posisi hati dalam diri manusia menduduki pengendali dari seluruh tindakan manusia. Baik atau buruknya pekerjaan bergantung pada hati. Karena hanya hati yang hanya mampu memahami segala kondisi yang dihadapi manusia, sehingga hati akan menentukan pilihan disertai dengan konsekuensi untung dan ruginya pada diri seseorang. Seperti dalam sebuah riwayat hadist disebutkan:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ (رواه البخاري)
Artinya: Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Al-Bukhori)
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (رواه مسلم)
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat suci al-Quran dan hadist yang disabdakan Rasullah pada paragraf sebelumnya sangatlah tampak bahwa posisi hati sebagai pengendali manusia. Hati yang dapat menentukan tindakan manusia. Hanya hati yang bisa memahami keadaan dirinya dan diluar dirinya. Sehingga hakikat manusia bukanlah akal melainkan hati.
Allahu a’lam bi muradihi…