Inti utama dalam al-Quran terkandung dalam bacaan basmalah. Ayat pertama dalam surat al-Fatihah ini meliputi empat kosa kata yang perlu dikupas, antara lain yaitu Ismu, Allah, Ar-Rahman dan yang terakhir adalah Ar-Rahim. Imam Husain bin Mas’ud Al-Baghawi (w. 1122 M) dalam tafsir al-Baghawi memaparkan kosa kata ismu/ الإسم berasal dari al-sumuwu/السمو yang artinya adalah keagungan atau kebesaran. Pendapat ini beliau merujuk kepada ahli bahasa dari kalangan ulama Basrah. Sebagai pembanding, Imam Husain bin Mas’ud Al-Baghawi juga menyajikan pendapat lain dari kalangan ulama Kuffah, mereka menyimpulkan bahwa diksi kata al-ismu/الإسم bersumber dari al-wasmu/الوسم dan al-simmatu/السمة yang mengandung arti tanda/العلامة.
Jika kita menggabungkan dari kedua pandangan ulama Basrah dan Kuffah tersebut, maka pandangan ini menunjukan bahwa bangsa Arab memilih satu kata tidak semata-mata sebagai tanda pada sebauh benda, pekerjaan atau sifat tertentu; melainkan terdapat kandungan nilai mendasar yang dituju. Sebagai sebuah contoh, seseorang bernama Ahmad, tujuan pemberian nama “Ahmad” agar orang tersebut memiliki sifat terpuji, sehingga harapannya dengan nama tersebut berdampak secara psikis bagi sang pemilik nama. Dengan demikian, saat seorang muslim mengawali baca basmalah dalam surat al-Fatihah telah terpatri dalam jiwanya kebesaran dan keagungan Allah Swt. dengan nama besar nan agung Allah Swt yang diperkuat dengan dua sifat yang menempel pada dzatnya, yaitu ar-Rahman/الرحمن dan ar-Rahim/الرحيم.
Keunikan bahasa Arab terstruktur dengan rapi. Setiap kata yang dipakai memuat pondasi logika bahasa yang sangat kokoh. Semisal rancangan kata ar-Rahman/الرحمن dan ar-Rahim/الرحيم, keduanya saling berdekatan dari segi susunan huruf, antara lain: ra’/ر, ha’/حdan a’in/ع. Jika digabung menjadi Rahmun/رَحْم dan Ruhmun/رُحْم, yang pertama kata Rohmun/رَحْم dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah kasih sayang, sedangkan yang kedua kata Ruhmun/رُحْمٌ dapat diterjemah dengan arti kandungan atau rahim, dimana dalam diri manusia terjalin hubungan antar sesama. Sehingga kata dasar dikembangkan dalam kosakata hiperbola (gaya bahasa yang melebih-lebihkan isinya baik dari sifat, jumlah, maupun dengna maksud untuk memperhebat suasana yang hendak dimaksud) atau sighat mubalaghah/الصيغة المبالغة menjadi ar-Rahman/الرحمن dan ar-Rahim/الرحيم . Tolok ukur kaedah yang dipakai dalam dua perubahan kata hiperbola tersebut bersandar pada Fa’laanun/فَعْلَان untuk kata ar-Rahman/الرحمن , dan fa’iilun/فَعِيْل untuk kata ar-Rahim/الرحيم . Yang membedakan kedua kata ini pada tingkat makna kasih sayang yang diberikan Allah Swt pada makhluknya. Penggunaan kata sifat ar-Rahman/الرحمن atau kasih sayang Allah Swt. diberikan pada seluruh makhluk dimuka bumi ini, baik yang untuk muslim atau non muslim di dunia. Adapun kata sifat ar-Rahim/الرحيم sama-sama mengandung arti kasih sayang, namun bedanya kasih sayang dalam sifat ini hanya diberikan oleh Allah Swt kepada muslim semata di akhirat kelak.
Tidak hanya berhenti pada makna dalam pemilihan kata sifat ar-Rahman/الرحمن dan ar-Rahim/الرحيم ; lebih mendalam lagi, kata sifat ar-Rahman/الرحمن yang mencakup keluasan makna dibanding ar-Rahim/الرحيم hanya disematkan secara khusus pada dzat Allah Swt., beda halnya dengan ar-Rahim/الرحيم yang merupakan salah satu sifat Allah Swt. juga bersemayam dalam diri manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui firman Allah Swt. yang berbunyi:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (سورة التوبة: ١٢٨)
Artinya: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (QS: 127)
Ayat di atas memberitakan kepada seluruh umat manusia dimuka bumi ini bahwa nabi Muhammad diutus untuk menebar kasih sayang. Artinya, dalam jiwa nabi Muhammad Saw. bersemayam sifat ar-Rahim/الرحيم yang merupakan bagian dari sifat Allah Swt. Abu Hayyan al-Andalusi, salah satu tokoh mufassir berkebangsaan Andalusia (1256 M/ 654 H-1344 M / 745 H), telah memberikan penjelasan penutup ayat terakhir di atas, ia mengutip pendapat al-Hasan bin al-Fadl yang mewartakan bahwa kedua sifat Allah Swt yang maha penyantun/رَءُوفٌ dan maha penyayang/رَّحِيمٌ ini tidak diberikan pada para nabi sebelumnya kecuali kepada nabi Muhammad Saw. Pendapat ini senada dengan imam az-Zamakhsyari (1075 M.) dalam tafsir linguistiknya berjudul al-Kasyaf menjelaskan bentuk kasih sayang nabi Muhammad Saw. dapat disaksikan melalui rangkian usahanya untuk mengajak manusia agar tidak keluar dari agama yang telah ditetapkan kebenarannya oleh Allah Swt. Secara tegas dalam ayat yang terpisah, Allah Swt. berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: ١٠٧)
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Anbiya: 107)
Merenungi kembali ayat di atas, nabi Muhammad diutus kemuka bumi tidak hanya menebar kasih sayang untuk manusia, baik muslim atau non-muslim melainkan kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali. Sebab redaksi ayat tersebut sangatlah umum dengan menggunakan pernyataan “rahmat bagi semesta alam/رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ”. Sebagai pusat percontohan, nabi Muhammad menjadi suri tauladan bagi kita semua agar mencintai makhluk diseluruh muka bumi ini, sekurang-kurangnya beliau tidak pernah membedakan latar belakang seseorang, beliau selalu menghormati para sahabat kala itu. Beliau memberikan senyuman dengan siapapun. Beliau tak kenal lelah mengayomi siang dan malam. Beliau tak pernah berhenti memayungi umatnya. Sosok yang menyala-nyala dengan cinta kasihnya untuk umatnya. Saat beliau kembali ke sisi Allah, beliau berucap: umati, umati, umati (umatku, umatku, umatku). Itulah cinta dan kasih sayang yang sejati Allah Swt. yang menjelma dalam jiwa nabi Muhammad Saw. Cinta kasih yang tak terbatas ruang dan waktu, bahkan melampaui ruang dan waktu.