Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah merupakan hal yang sering disorot cukup serius. Kisah beliau menikahi perempuan lebih dari satu adalah riwayat yang mutawatir. Ada beberapa argumentasi yang perlu dipahami terkait poligami Rasulullah, seperti:
- Rasulullah melakukan praktik poligami saat beliau memasuki usia sinna as-syuyukhah (kira-kira lebih dari 50 tahun). Rasulullah ber-monogami selama 28 tahun, sedangkan praktik poligami beliau hanya selama 8 tahun. (as-Shabuni, Syubuhat wa Abathil Hawla Ta’adud ar-Rasul, t.t: Maktabah Sayyid Hasan Abbas, 1980, 10).
- Riwayat shahih yang terekam bahwa Rasulullah melarang Sayyidina Ali (menantunya) yang hendak melakukan poligami terhadap putrinya yaitu Sayyidah Fathimah. (Shahih Bukhari: no. hadis 5285, Sunan Abi Dawud: no. hadis 2073, dan Musnad Ahmad bin Hanbal: no.hadis 19.229). Al Bukhari sendiri memaknai hadis ini sebagai upaya pembelaan orang tua terhadap putrinya. Maka, perempuan yang menolak praktik poligami berarti mengikuti Sayyidah Fathimah, dalam hal ini termasuk dalam sunnah taqriri, karena ditetapkan oleh Rasulullah meskipun beliau tidak melakukannya.
- Rasulullah melakukan advokasi terhadap praktik poligami lebih dari empat yang dilakukan Sahabat. Kisah Ghailan as-Tsaqafi cukup populer yang kala itu berisitri 10. Rasulullah memerintahkan: “Tahanlah empat dan lepaskan sisanya.” (al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2023, VII: 294).
- Rasulullah melawan tradisi di tengah arus kebiasaan masyarakat Makkah yang melakukan poligami tanpa batas dan tanpa syarat. Bahkan, kisah para Nabi sebelum Rasulullah Muhammad masyhur memiliki jumlah istri yang cukup banyak, seperti Nabi Daud memiliki 99 istri dan Nabi Sulaiman memiliki 103 istri. (Abdul Ghani Abdurrahman, Zaujat an-Nabi wa Hikmat Ta’ddudihinna, Mesir: Maktabah Madbuli, 1988, 31)
- Pernikahan Rasulullah termasuk saat beliau menikahkan putri-putrinya adalah atas instruksi wahyu Allah. Hal ini seperti dalam QS. Al Ahzab: 52, QS. At-Tahrim: 1 dan 5 serta terekam dalam hadis yang diriwqayatkan Abu Said: “Tidaklah aku menikahkani seorangpun dari istriku dan tidak pula aku menikahkan putri putriku (pada orang lain) kecuali dengan izin Allah yang dibawa oleh Jibril AS. (Bu Nu’aim al Asbihani, Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Ashfiya’, Beirut: Dar al Kitab al-Arabi, 1974, VII: 251.
Lantas dalam konteks apa Rasulullah melakukan poligami? Apa argumen Rasulullah melakukan poligami? Pertama, fakta ini tidak bisa dipisahkan saat terjadi pergolakan perang Uhud. Dalam peperangan ini, kaum Muslim kalah meskipun secara perhitungan di atas kertas hampir membawa kemenangan. Banyak sahabat yang wafat dan meninggalkan istri serta anak-anak menjadi yatim.

Baca Juga: Mana Yang Lebih Baik: Ibu Yang Bekerja atau Ibu Rumah Tangga?
Misal, konteks pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Ummu Salamah yang ditinggal wafat Abu Salamah. Yang dilakukan Rasulullah semata “membalas” kebaikan pada sahabatnya yang siap menjadi martir dalam upaya penyebaran Islam (al-barr bi ashabih wa rijal da’watih). (Abd at-Tawwab, Ta’adud az-Zawjat fi al-Islam wa Hukmah at-Ta’adud Azwaj an-Nabi, Beirut: Dar al-Qalam, 1986, 136).
Kedua, poligami lebih dari empat yang dilakukan Rasulullah merupakan khususiyat (satu dari kekhususan yang hanya diperuntukkan bagi Rasulullah). Kekhususan Rasulullah yang lain seperti kewajiban sholat malam, di mana bagi kita hukumnya adalah sunnah. Dalam perintah ini ada maksud yang hendak dicapai yang akan kami ulas dalam hikmah poligami yang dilakukan Rasulullah. (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Mesir: Maktabah ad-Dakwah al-Islamiyyah, 42)
Setidaknya ada empat hikmah utama atas praktik poligami Rasulullah, yaitu: Pertama, al hikmat at-ta’limiyyah. Dalam pembelajaran keilmuan, Islam sangat Universal diperuntukkan berbagai kalangan apapun jenis kelaminnya. Perempuan yang memiliki pengalaman biologis seperti haid, melahirkan, nifas dan sebagainya akan merasa riskan jika menanyakan demikian pada Rasulullah, karenanya seluruh istri Nabi menjadi “jubir” keilmuan Nabi dari sisi masalah privasi kewanitaan ataupun masalah rumah tangga lainnya. Sayyidah Aisyah khususnya, kita kenal sebagai periwayat hadis terbanyak setelah Abu Hurairah. Selain menjadi rujukan sahabat perempuan, Sayyidah Aisyah juga menjadi rujukan sahabat laki-laki, hal ini banyak dijumpai dari pengakuan dan kesaksian para Sahabat atas kedalaman ilmunya. Misal: salah satu Tabi’in pernah menyaksikan bahwa para pemuka sahabat menanyakan masalah faraidh kepadanya. (ad-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah 1985, II: 182).
Kedua, al hikmah at-tasyri’iyyah (legislasi syari’at). Allah semacam ingin menyetting satu hukum tertentu yang kemudian akan diikuti umat Nabi sampai hari ini. Kisah Rasulullah menikahi Sayyidah Zainab binti Jahsy yang notabene-nya adalah “mantan’ istri dari Zaid bin Haritsah (budak yang diadopsi sebagai anak angkat oleh Rasulullah). Yang perlu dipahami adalah, bahwa anak angkat tidak memiliki hubungan hukum apapun dengan ayah angkatnya seperti: hak kewarisan, hak perwalian saat menikah, hak nasab menisbatkan namanya pada ayah kandungnya dan lain sebagainya yang lazim diterima oleh anak kandung.
Ketiga, al-hikmah ijtima’iyyah (hikmah komunal masyarakat). Dalam rangka membangun pondasi sosial antara Rasulullah dan pengikutnya terjalin erat, Rasulullah menikahkan kedua putrinya yang bernama Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Ummu Kultsum dengan Sayyidina Utsman bin Affan. Menikahkan Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Disamping Rasulullah juga menikahi putri sahabatnya seperti Sayyidah Hafshah binti Umar bin Khattab dan Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq.

Keempat adalah hikmah politik (al-hikmah as-siyasiyah). Meminjam istilah Kiai Afifuddin Muhajir, bahwa poligami Rasulullah adalah poligami perjuangan bukan perjuangan poligami. Perkawinan beliau dilakukan dalam rangka menaklukkan hati orang-orang disekitar pasangannya seperti keluarga dan suku mereka. Misal proses berbondong-bondong masuknya Islam kelompok Bani Musthaliq. Saat itu Rasulullah menikahi Sayyidah Juwariyah binti Harits yang merupakan putri pimpinan suku Bani Musthaliq. Konon Rasulullah membebaskan tebusan sejumlah keluarga Bani Musthaliq yang menjadi tawanan Umat Islam, dimana Sayyidah Juwariyah yang datang menghadap Rasulullah sendiri menjadi mediator agar beliau berkenan membebaskan dengan membayar sejumlah uang. Motif tulus ini yang kemudian diikuti masuk Islamnya suku Bani Musthaliq.
Dari narasi di atas, seseorang yang melakukan praktik poligami atau mendoktrin perempuan agar menerima poligami seringkali menggunakan argumentasi bahwa Rasulullah adalah pelaku poligami. Dengan menolak poligami berarti menolak teladan Rasulullah. Fakta terkait poligami Rasulullah adalah benar, tapi kesimpulannya jelas salah dan menyimpang. Sebagaimana dalam Ushul fiqh, bahwa tidak semua perbuatan Nabi secara otomatis boleh diikuti. Misal praktik poligami lebih dari empat seperti yang dilakukan Rasulullah tidak boleh diteladani siapapun. Namun praktik Nabi untuk selalu berbuat adil wajib diteladani. Jika tidak, poligaminya dianggap tidak sesuai dengan sunnah.
Menolak poligami sesungguhnya juga teladan qur’ani, benarkah? Jika seksama membaca QS. An-Nisa ayat 3, 128, 129 dan 130 maka kita akan menumakn kalimat tegas dan jelas bahwa seseorang boleh menolak poligami. Di ayat ketiga an Nisa jika khawatir tidak mampu berbuat adil, maka menikahlah satu saja. Hal tersebut lebih mudah untuk tidak berbuat dzalim.
Lebih khusus di QS. An Nisa ayat 130, bagi perempuan yang tidak sanggup dipoligami, maka yang diminta al-Qur’an bukanlah bersabar, tetapi boleh meminta cerai, bahkan Allah menjanjikan keluasan rizki.
Sayangnya, kebanyakan orang justru menjanjikan surga kepada para perempuan yang menerima poligami, sehingga doktrin bersabar dan menerima apapun yang terjadi lebih sering digaungkan. Jika tidak menerima, dianggap melanggar al-Qur’an dan bertentangan dengan sunnah Nabi.
Allahu a’lam