Negeri Maghrib, yang dikenal dengan negara Maroko mempunyai corak budaya Islam yang berbeda dengan negara lain. Dari pengalaman awal saya di Maroko, saya menemukan banyak perbedaan yang mencerminkan karakteristik khas negara tersebut, baik dari segi budaya maupun praktik keagamaannya, khususnya di bulan Ramadhan ini. Saya menemukan banyak tradisi bulan suci Ramadhan di Maghrib yang berbeda dengan pengalaman di Inonesia.
Keunikan pertama yang saya perhatikan di Maroko yaitu penyesuaian jam saat menjelang Ramadhan. Pemerintah Maroko memutuskan untuk mengubah standar waktu yang awalnya GMT+1 menjadi GMT setiap kali bulan Ramadhan jatuh saat musim panas dan akan kembali seperti semula ketika Ramadhan telah usai. Perubahan waktu ini menyebabkan selisih waktu antara Indonesia-Maroko yang awalnya 6 jam menjadi 7 jam, serta bertujuan untuk menormalisasikan waktu sahur dan berbuka saat Ramadhan.
Selanjutnya tentang tradisi buka bersama keluarga di rumah. Mayoritas masyarakat Maroko memilih untuk berbuka di rumah, lain halnya dengan warga Indonesia yang lebih suka untuk berbuka bersama di warung makan atau restaurant. Hidangan wajib yang disiapkan oleh masyarakat Maroko pun khas, yaitu Sup Harirah. Sup tradisional Maroko yang khas degan rasa tomatnya serta dicampur dengan kacang-kacangan dan vermiseli (mie tpis).
Selain buka puasa dengan ciri khas menu buka puasa, saya juga memperhatikan tradisi sholat tarawih. Hal pertama yang saya perhatikan jumlah rakaatnya. Jumlah raka’at shalat tarawih yang dilakukan oleh masyarakat Maroko sama dengan masyarakat muslim di Indonesia, yaitu 20 raka’at shalat tarawih dan 3 rakaat shalat witir. Hanya saja pelaksanaannya di Maroko terbagi menjadi dua waktu, dengan 10 rakaat dilaksanakan setelah salat isya’ dan disempurnakan sebelum shalat shubuh. Ini menyebabkan masjid dibuka sekitar dua jam sebelum waktu shubuh, sedangkan jamaah shalat tarawih berkumpul sekitar 1 jam sebelum sholat shubuh. Selain itu, yang membedakan adalah ayat yang dibaca ketika salat tarawih bukanlah ayat dari juz ‘amma, melainkan urutan ayat dari awal Alquran. Para jama’ah sangat antusias menyelesaikan setiap juz al-Qur’an.
Seluruh rangkaian tradisi di atas menjadi rutinitas masyarakat Maroko. Dari segenap rentetan tersebut, terdapat suatu malam yang saya nantikan, yaitu perayaan malam 27 Ramadhan. Masyarakat Maroko meyakini perayaan malam 27 Ramadhan sebagai malam Lailatul Qadr. Suasana pada malam ini terasa berbeda dengan malam lainnya. Meskipun belum jelas landasan yang mendasari hal ini, akan tetapi perayaan malam 27 Ramadhan menjadi tradisi yang melekat bagi Masyarakat Maroko. Pada malam itu, Masyarakat Maroko berbondong-bondong ke masjid dan menyambut malam tersebut dengan beri’tikaf sampai menjelang waktu sholat tarawih yang kedua. Bahkan warga Indonesia yang berdomisili di Maroko menganggap bahwa 27 Ramadhan adalah hari lebaran bagi orang Maroko.
Nah, beberapa poin yang saya paparkan diatas merupakan tradisi yang khas dan unik yang saya temukan di Negeri Maghrib, Maroko. Sangat menarik, bukan?