Dalam seminggu ini banyak bertebaran tagar di Instagram terkait rumor gaji rendah pendidik ditingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Padahal kalau melihat amar putusan Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 13/PUU-VI/2008 menyebutkan anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanat UUD 1945. Artinya, pemerintah telah mempersiapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari tahun 2008 silam, bahkan berita terbaru yang beredar, pemerintah akan mengalokasi dana pendidikan dengan rincian Rp 660,8 triliun di 2024 ini. Anggaran pendidikan sebesar itu meningkat dibanding anggaran pendidikan tahun 2023 yang mencapai Rp 612,2 triliun.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia dianggap mampu menerjemahkan hasil penelitian terkait pentingnya sektor pendidikan untuk kemajuan sebuah bangsa dengan cara memberikan besaran alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan. Besaran ini masuk kategori tertinggi kedua di asia tenggara setelah Malaysia. Dengan alokasi tersebut pemerintah bertujuan agar mampu meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing di tingkat internasional.
Sayangnya, angin segar ini tidak berbanding lurus dengan keluh kesah dunia pendidik yang selalu menyelimuti kehidupan sehari-hari mereka dengan tuntutan kebutuhan hidup yang melambung tinggi, sebut saja kebutuhan pokok, seperti beras, gula pasir, minyak goreng dst. Semua kebutuhan tersebut naik cukup drastis di pasar lokal. Alih-alih ingin meningkatkan taraf bergaya hidup, tarif (gaji) mereka dari mendidik seringkali tidak dapat menutupi kebutuhan dalam hitungan satu bulan, apalagi gaji honorer yang hanya cukup buat bahan bakar transportasi dan sabun mandi saja.
Melihat kondisi sosial semacam ini, para pendidik akan dihadapkan dengan dua pilihan, antara panggilan jiwa atau panggilan profesi. Tak dapat dipungkiri, sebagai pendidik sudah tertancap dalam alam bawah sadar mereka untuk menyalurkan ilmu pengetahuan pada murid/mahasiswa (peserta didik) sebagai bentuk dari pengabdian abadi untuk ilmu pengetahuan. Namun demikian, mereka juga tidak naif atas kebutuhan sehari-hari untuk keluarga. Seharusnya, rasio 20% itu tidak hanya mampu meningkatkan sumber daya manusia tapi dapat meningkat kesejahteraan pendidik. Mari kita tengok kembali pada sejarah dinasti Abbasiyah yang terkenal dengan kemajuan peradaban Islam dan keterlibatan pendidik ilmu pengetahuan sekaligus penghargaan bagi mereka di era keemasan Islam tersebut.
Ahmad Amin dalam buku Dhuha al-Islam bercerita terkait tata kelola Abbasiyah dalam dunia pendidikan. Meski secara sistem politik menggunakan monarki absolut yang identik dengan gaya otoriter namun perihal ilmu pengetahuan dinasti Abbasiyah sangat terbuka demi kemajuan peradaban Islam. Dalam pergerakan kebangkitan awal di era Abbasiyah, mula-mula ilmu pengetahuan tidak tersebar melalui madrasah/sekolah tertentu melainkan ditempat pemondokan semata (al-ma’had) atau masjid-masjid, para pencinta ilmu tetap memiliki semangat tinggi untuk mengembangkannya. Hal ini terbukti dengan para pengembara ilmu menyisipkan uang satu dinar dari saku sebagai bentuk penghormatan pada pendidik mereka. Begitu juga para pendidik, mereka selalu siap sedia melayani siapapun yang datang untuk belajar, baik dalam bidang ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum.
Mencermati gelora pegembangan ilmu pengetahuan ini, pihak penguasa Abbasiyah memberikan dukungan penuh kepada pengabdi ilmu pengetahuan. Sebagai dinasti pertama yang memilah antara ilmu pengetahuan agama (naqliyah) dan ilmu pengetahuan umum (’aqliyah), penguasa dinasti ini memberikan alokasi dana bagi para pencari ilmu pengetahuan dan pendidiknya. Sebagai salah seorang penguasa Abbasiyah, Harun al-Rasyid mengalokasikan dana Abbasyiah untuk pendidikan secara langsung: Pertama, beasiswa pelajar al-Qur’an dan pengadaan majlis ilmu al-Quran diberikan uang sebesar 2000 Dinar. Kedua, beasiswa pelajar al-Qur’an sekaligus yang mendalami riwayat hadist mendapatkan uang sebesar 4000 Dinar. Namun sayangnya, alokasi dana tidak diperuntukan untuk pendidik ilmu agama saat itu, mereka memberikan ilmu pengetahuan secara cuma-cuma, mereka tidak mengharap apa-apa, murni karena Allah SWT., mereka hanya memenuhi panggilan jiwa untuk mendidik para pencari ilmu agama.
Meskipun penghargaan Harun al-Rasyid tidak nampak secara materi finansial pada pendidik agama, disisi yang lain, penghargaan Harun al-Rasyid terhadap penulis dan penerjemah pengetahuan umum dari bahasa Yunani cukup menggiurkan, sebut saja Muhammad bin Musa bin Syakir, setiap tahun ia mendapatkan gaji dari pemerintah sebesar 400.000 dinar, ada juga seorang penerjemah ulung bernama Hanin bin Ishaq mendapat 500 dinar perbulan. Proyeksi Harun al-Rasyid atas terjemah ilmu pengetahuan dari peradaban luar semata-mata ingin membangun perpustakaan besar, bernama Bait al-Hikmah. Barulah dimasa al-Mu’tadid perhatian pada seluruh pegiat ilmu pengetahuan diberikan penghargaan sangat tinggi. Sekurang-kurangnya para cerdik cendikiawan baik dari pakar pengetahuan agama atau pengetahuan umum mendapat 100 Dinar perbulan. Bahkan beasiswa setiap masing-masing jurusan mendapat penghargaan finansial dengan besaran uang 100 Dinar sebagaimana para guru mereka.
Setelah Abbasiyah mulai rapuh dari aspek politik, dinasti Saljuk mempunyai peran penting dalam menjaga stabilitas politik sekaligus ilmu pengetahuan. Dinasti Saljuk mengambil alih proyeksi pengembangan ilmu pengetahuan melalui lembaga pendidikan. Nidhom al-Mulk, seorang menteri dari Saljuk, mendirikan lembaga al-Nidhomiah sebagai kontrol atas pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam catatan Sulaiman al-Dunya, menteri tersebut menganggarkan uang pemerintah sebesar 600.000 Dinar pertahun untuk kebutuhan pendidik dan peserta didik di al-Nidhomiah. Anggaran ini cukup fantastis dan bisa mensejahterakan civitas akademika saat itu.
Dari setiap hitungan kesejahteraan di atas, jika dikonversi saat ini satu keping koin dinar memiliki berat 4,25 gram emas dan terbuat dari emas 22 atau 24 karat. Kurang lebih harga 1 Dinar jika dikrus ke rupiah saat ini kurang lebih Rp3.657.646. Sedangkan harga dirham mengikuti harga pasaran perak. Sementara berat satu koin dirham adalah 2,957 gram. Koin dirham memiliki nilai berbeda-beda, yaitu 1, 5, 10, 25, dan 50 dirham. Harga jual dirham kurang lebih Rp 3.995,74. Sehingga ketika ingin membeli sekeping koin 5 dirham dana yang harus disiapkan adalah sekitar Rp19.978,7. Sementara koin 50 dirham didapat dengan harga Rp199.978. Anda bisa mengkalikan sendiri, betapa besar penghargaan peradaban Islam saat itu pada ilmu pengetahuan.
Perbandingan masa lalu peradaban Islam dibawah dinasti Abbasiyah ini dari sisi anggaran untuk pendidikan sama besarnya dengan anggaran pemerintah Indonesia saat ini. Lantas kemana alokasi dana Rp 660,8 triliun itu berlabuh? apakah alokasi tersebut hanya untuk kemegahan bangunan sekolah? atau ada penyelewengan dana anggaran? sedangkan disaat yang bersamaan banyak sekali pendidik yang masih terseret-seret dengan kebutuhan sehari-hari mereka meski sekedar untuk makan. Bahkan tidak sedikit dari pendidik itu menunggu beras subsidi pemerintah untuk sekedar bertahan hidup dalam keseharian mereka. Seharusnya, dan menjadi kewajiban pemerintah dari tingkat paling atas sampai bawah memperhatikan kesejahteraan pendidik agar mereka lebih fokus untuk mempersiapkan materi mengajar dalam kelas, jika tidak demikian, mereka akan disibukan dengan mencari penghasilan diluar lembaga pendidikan demi menutupi atau mencukupi kebutuhan hidup mereka. Perhatian pemerintah atas anggaran 20% dari APBN perlu dikawal agar tidak salah sasaran, lebih-lebih jika terjadi pemotongan dana anggaran ditengah jalan perlu diantisipasi sejak dini.
Sudah menjadi kepastian nurani bahwa mendidik adalah panggilan jiwa jika dilihat dari ruang privat, namun dalam ruang publik menjadi pendidik bagian dari profesi yang tidak bisa diabaikan oleh pemerintah atau pemilik lembaga pendidikan. Jika mendidik sebagai profesi tercukupi hak mereka diruang publik, maka dengan sendirinya ruang privat mereka tidak akan pernah terganggu dengan gaya hidup yang semakin tinggi saat ini. Harapan keseimbangan ini perlu direnungi bagi seluruh pemangku kebijakan agar dilema pendidik dalam mendidik antara panggilan jiwa dan panggilan profesi tidak akan mengotori kesucian ilmu pengetahuan.
Allahu a’lam bi muradihi.
Alhamdulillah, masiih bisa menimba ilmu, mengenai mengajar