Perempuan yang beraktivitas di ruang publik maupun memajang gambarnya di media sosial, masih saja ada yang beranggapan bahwa ia adalah sesuatu yang tabu, ia juga dianggap menjajakan dirinya pada lelaki lain dan dosanya akan terus mengalir selama foto tersebut masih terpampang.
Perempuan hanya boleh keluar dari rahim ibunya, keluar dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya, dan dari rumah suaminya ke liang lahat. Sisanya, perempuan adalah aurat yag harus tinggal di dalam rumah saja.
Hal ini erat dengan narasi-narasi sebagai berikut:
1. Wanita adalah aurat
Hadis riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa wanita adalah aurat, jika mereka keluar maka setan akan memperindahnya (Sunan at-Tirmidzi, Kitab ar-Radha’, no. 1206). Maksud hadis tersebut adalah seorang wanita hendaknya tidak keluar rumah kecuali bila ada kebutuhan, karena setiap kali wanita keluar rumah, maka setan-setan akan menampakkan mereka sebagai makhluk yang menggoda bagi lelaki yang melihatnya. Realitanya, hadis ini muncul 14 abad lalu bahwa keluar rumah kondisinya tidak ramah bagi perempuan.
Kata aurat dalam hadis tersebut tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang wajib ditutupi setiap saat. Jika diartikan demikian, wanita tentu dilarang mutlak keluar rumah kecuali dalam kondisi darurat, sebagaimana aurat tidak boleh diperlihatkan sama sekali secara mutlak kecuali saat darurat.
Ia tidak berhak atas segala manfaat dari kehidupan publik di luar rumah, melakukan amar ma’ruf seperti sholat berjamaah di masjid, bekerja, berbelanja, mengantar anak sekolah dan seluruh aktivitas sosial keumatan sebab mereka sendiri adalah aurat. Tak peduli setebal apapun penutupnya, ia tetap dilarang bila pemahamannya seperti itu sebab bukan bajunya yang menjadi masalah tetapi mereka atas nama makhluk bernama perempuan yang setiap keluar akan selalu dibuntuti setan.
Jika mereka masih diperbolehkan keluar rumah untuk kebutuhan yang tidak darurat, artinya mereka masih boleh terlihat. Apabila boleh terlihat di dunia nyata, maka pasti boleh juga terlihat di dunia maya. Tentunya ada batasan-batasan apa yang boleh terlihat dan tidak boleh terlihat dari seorang wanita. Batas-batasan inilah yang sebenarnya ditekankan dalam hadis itu agar tidak dilanggar.
Soal batasan aurat ini panjang dan tulisan ini tidak dibuat untuk itu. Kita tidak dapat menyatakan haram memajang foto kecuali pada mereka yang mengikuti pendapat bahwa wajah adalah aurat yang haram diperlihatkan. Adapun bagi yang tidak mengikuti pendapat tersebut, maka ada pilihan yang jauh lebih longgar.
2. Sebagai perantara laki-laki membangkitkan syahwatnya
al-Qur’an menyatakan wajib bagi laki-laki menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan (QS. An-Nur ayat 30). Termasuk di antaranya adalah melihat aurat atau sesuatu yang menimbulkan syahwat baginya. Aurat sendiri sudah disepakati bahwa ia wajib ditutup dan tidak boleh diperlihatkan, baik di dunia nyata atau pun dunia maya.
Namun untuk hal-hal yang menimbulkan syahwat, maka tidak bisa serta merta dilarang dengan alasan menjadi perantara laki-laki timbul syahwatnya. Perlu diteliti ulang apakah hal tersebut wajar menimbulkan syahwat atau tidak? Terjemah paling pas untuk kata syahwat adalah birahi atau adanya dorongan dalam hati untuk melakukan kegiatan seksual dengan objek yang dilihat atau disentuh, meskipun tubuhnya belum menampakkan reaksi tertentu.
Jadi secara normal sangat sulit sebuah foto yang sopan dan wajar akan membangkitkan syahwat orang yang melihatnya. Orang normal tidak akan timbul syahwat ketika melihat foto-foto yang tidak provokatif dan tidak menampakkan aurat. Jika ada gejolak birahinya bangkit ketika melihat foto yang wajar, maka orang itulah yang wajib menundukkan pandangannya sedangkan pemilik fotonya tidak dapat dianggap berdosa karena kejadian tersebut.
Adapun bila sekedar terbesit dalam pikiran bahwa foto yang dilihat bersifat cantik atau tampan, maka itu bukan syahwat sepanjang tidak timbul dorongan atau fantasi seksual dengannya. Dr. Amrah Kasim. Ahli semiotika al-Qur’an alumi al-Azhar Kairo menjelaskan kata bashar tidaklah dimaknai mata fisik, melainkan kondisi mental saat memandang sesuatu.
Gadhdhul bashar dengan demikian bukan penundukan mata, melainkan kontrol atas cara pandang. Jadi, sebenarnya hukum foto sama dengan hukum yang berlaku di dunia nyata. Apa pun yang halal dilihat di dunia nyata, maka ia juga halal dilihat di dunia maya.
Wallahu a’lam