Sebuah teks tidak lahir dari sebuah ruang kosong, ia hadir di tengah sistem budaya, sosial, serta peradaban tertentu. Karenanya, ia harus dipahami secara utuh. Begitu halnya dalam memaknai penggalan QS. An Nur ayat 31 berikut terjemahan yang umum kita terima:
وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ [النور: 31]
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”
Ayat tersebut turun merespons kebiasaan wanita Arab saat itu di mana model berkerudungnya hanya memakai kain yang diletakkan di atas kepala dengan kedua ujungnya dibiarkan menjuntai ke belakang. Dengan demikian, kulit pada bagian telinga, leher dan dada bagian atas masih nampak.
Ibn Abbas dalam Tafsir as Samarqandi menginformasikan konteks ayat tersebut:
وكن النساء قبل هذه الآية إنما يسدلن خمرهن سدلا من ورائهن كما يصنع النبط، فلما نزلت هذه الآية شددن الخمر على النحر والصدر
“Para Wanita sebelum ayat ini turun hanya menjulurkan kerudungnya ke belakang (punggung) seperti dilakukan rakyat jelata (para pekerja). Setelah ayat ini diturunkan, maka mereka menutupkan kerudung ke leher dan dada”.
Makna kata juyub (جيوب) dalam ayat itu juga sebenarnya bukan dada. Kata “dada” dalam bahasa Arab adalah shadr (صدر). Kata juyub merupakan bentuk jamak dari kata Jayb. Istilah jayb al-qamis dalam kamus al-Muhith dimaknai sebagai:
ما يدخل منه الرأس عند لبسه
“Jalan masuknya kepala ketika memakai gamis”
Jayb diartikan kerah baju bagian leher. Dari kerah inilah kepala dimasukkan. Karena kerah itu mengandung celah, maka bisa dipastikan jika baju dipakai akan menyisakan bagian kulit yang nampak seperti dada atas, leher dan dagu. Bila ayat tersebut diterjemah menjulurkan kain penutup kepala sampai ke dada, maka otomatis akan tertutup bagian lainnya sehingga maksud ayat tersebut tersampaikan, karena dada merupakan bagian terbawah dari tiga hal yang memungkinkan terlihat di atas. Kerenanya, mayoritas ulama mengartikan ayat tersebut dengan kewajiban menutup leher dan dada. Ibn Abi Hatim dalam tafsirnya berkata:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ يَعْنِى النَّحْرَ وَالصَّدْرَ وَلا يُرَى مِنْهُ شَيْءٌ
“Menutupkan kerudung ke krah mereka, maknanya adalah menutup leher dan dada sehingga tidak ada yang terlihat sedikit pun”.
Perlu dibedakan antara dada (صدر) dan payudara (ثدي). Menutup bagian dada artinya menutupi kulit di area bawah leher tempat krah baju sehingga tidak ada kulit yang terlihat. Bila area tersebut sudah tertutup sepenuhnya, maka tuntutan ayat ini artinya sudah terpenuhi, tidak peduli model kerudungnya dililitkan di leher. Adapun soal bagian payudara wanita terlihat menonjol bila dibandingkan dengan bagian lainnya ketika kerudung dililitkan, maka tidak menjadi soal sebab postur wanita memang secara alamiah demikian, asal tidak ada bagian kulit yang terlihat. Dalam kasus ini tidak bisa serta merta diharamkan dengan alasan memperlihatkan lekuk tubuh.
Ada hadis terkait larangan memperlihatkan lekuk tubuh yaitu hadis yang diriwayatkan Usamah bin Zaid terkait quthbiyah (as-Syaukani dalam Nail al-Authar menyebut sebagai kain tipis yang tembus pandang sehingga lekukan tulang terlihat jelas bila tidak di rangkap) yang dipakai istrinya, lantas Rasulullah menyuruh untuk menggunakan pakaian secara rangkap karena khawatir bentuk tulangnya nampak (HR. Ahmad).
Dari keterangan di atas bisa dipahami bahwa terlihatnya lekuk tubuh yang diharamkan adalah jika menampakkan alur permukaan tubuh secara jelas seperti dalam kasus pakaian renang atau model kaos ketat jika dikontekskan zaman sekarang.
Allahu A’lam