Sudah semestinya seorang pemimpin memenuhi tanggung jawabnya di tengah umatnya dengan adil tanpa meluputkan asas kemaslahatan. Imam As-Syafi’i yang kemudian dikutip oleh banyak ulama, di antaranya Imam Badrudin Az-Zarkasyi dan Imam As-Suyuthi, menyatakan:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin dalam suatu hal bergantung pada kemaslahatan umum”.
Dari pernyataan tersebut, tampaklah bahwa tanggung jawab yang dipikul oleh seorang pemimpin bukanlah tanggung jawab yang sederhana, melainkan tanggung jawab yang besar. Dan tentunya motif seorang pemimpin, sama sekali tidak untuk sebuah jabatan, akan tetapi bagaimana dapat mengemban amanah dengan mengindahkan nilai kesejahteraan sosial.
Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin Dinasti Umawiyyah yang merupakan cicit dari Sayyidina Umar bin al-Khattab rela mengorbankan jam istirahat hanya sekedar untuk memastikan kembali hal-hal yang berkaitan dengan amanahnya sebagai seorang pemimpin.
Saat itu, setelah Umar bin Abdul Aziz mengurusi pelbagai persoalan dalam pemerintahannya, karena banyaknya tugas yang diemban, Ia merakasan kepenatan yang luar biasa. Karena hal itu, Ia memutuskan untuk beranjak ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Ia bertemu dengan putra semata wayangnya, Abdul Malik. Dan kemudian, Ia menuturkan atas apa yang telah dikerjakannya hingga saat itu kepada putranya. Sang putra lantas memberikan respon kepada ayahandanya dengan suara yang lirih, “Amir al-Mukminin! Mengapa engkau kini menikmati rehat? Sedangkan, dari yang telah Engkau sampaikan bahwa ada beberapa hal yang belum terselesaikan. Lantas, siapakah yang menjamin bahwa Ayahanda akan tetap hidup hingga waktu dzuhur tiba sebentar lagi?”
Mendengar respon demikian dari putranya, Umar bin Abdul Aziz merasa seakan-akan kepalanya dihantam dengan sebuah palu godam. Lantas, Ia mengurungkan niat rehatnya, dan bergegas meninggalkan rumahnya.
Dari kisah tersebut, tampaklah bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang terdepan dalam mengurusi pelbagai persoalan di tengah kemajemukan di masyarakat. Selain itu, menurut Imam As-Suyuthi bahwa seorang pemimpin merupakan tempat mengeluh dan mengadu. Juga merupakan naungan orang lemah menuntut sebuah hak. Begitu pun, orang yang terdzolimi mengadu nasib kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kekuatan.
Baca juga: Kisah Kiai As’ad Situbondo dan Preman Penjaga Sandal
Oleh karena itu, mengingat bahwa pemimpin memikul tanggung jawab yang besar, maka Allah memberikan karunia kepada mereka yang memimpin dengan adil. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim menyatakan bahwa salah satu golongan yang memperoleh perlindungan dari Allah pada hari kiamat yaitu pemimpin yang adil.
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ …(رواه الشيخان)
“Ada tujuh golongan orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil”.
Selain kisah di atas, ada kisah menarik lagi yang berkaitan dengan seorang pemimpin yang rela berjuang demi kemaslahatan umatnya, yaitu sebagaimana yang tertera dalam kitab idzotunasiin karya Syekh Mustofa Gulayaini. Kisah itu tercantum dalam bab maslahah al-mursalah.
Suatu ketika, datanglah seorang arab Badui ke istana Khalifah Hisyam bin Malik. Ia menghadap kepada sang Khalifah, dan berkata: “wahai Amirul mukminin, kami telah berada pada masa yang sangat paceklik selama tiga tahun berturut-turut. Tahun pertama mencairkan lemak, tahun kedua menahan daging, dan tahun ketiga menyedot sumsum tulang belakang (maksudnya selama tiga tahun berturut-turut, orang Badui beserta masyarakat dalam keadaan sangat menderita akibat paceklik atau krisis ekonomi)”.
Kemudian orang Badui itu melanjutkan pengaduannya: “wahai Amirul mukminin, sepertinya anda dikelilingi banyak kelebihan harta. Apabila harta itu adalah milik Allah, maka berikanlah harta itu kepada hamba-hamba-Nya. Apabila harta itu adalah milik orang banyak, maka berikanlah kepada orang yang sedang membutuhkan, dan apabila harta itu milik anda, maka sedekahkanlah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersedekah”.
Mendengar pengaduan orang Badui tersebut, sang Khalifah merasa iba dan langsung menyambar penyampaiannya dengan berkata: “selain itu, apalagi yang kamu butuhkan wahai arabii?”
Orang Badui menjawab: “Saya datang dari tempat yang sangat jauh, gelapnya malam, dinginnya cuaca, dan panasnya terik matahari telah saya lalui, bukan untuk diriku melainkan untuk masyarakat kami”.
Mendengar jawaban orang Badui tersebut, sang Khalifah memerintahkan pengawalnya untuk memberikan banyak persediaan makanan dan harta kepadanya, agar orang Badui tersebut dapat membagikannya secara adil kepada umatnya.
Entahlah ya. Apakah pemimpin yang ada saat ini sudah mementingkan rakyat dan berlaku adil?
Ada juga kisah pemimpin yg ga mau menggunakan fasilitas negara. Yang diajak ngobrolin hal di luar urusan negara lalu beliau matikan terlebih dahulu sumber cahaya yang ada. Yaampun kangen dengan pemimpin yang adil dan tidak menggunakan kekuasaannya sesuka hati.
ya Allah, kapankah kita bisa ALlah anugerahkan pemimpin yang berjuang untuk kemaslahatan rakyatnya di negeri tercinta ini TT
Semoga Negara kita juga bisa mendapatkan pemimpin yang adil da. amanah serta pro terhadap kepentingan rakyatnyaa
Kisah tersebut bisa jadi inspirasi bagi para pemimpin dalam bidang apapun dia memimpin. Karena pada dasarnya, di hari akhir nanti, semua akan ditanyai apa yang telah dilakukannya selama di dunia
Kalau membaca kisah sejarah islam itu seperti punya magnet sendiri. Apalagi syarat akan makna di dalamnya. Tapi saya gemar sekali mendengarkan cerita kisah Nabi saat bapak masih sehat. Alfatihah…
Masyaallah kisahnya menjadi reminder diri ini, semoga Indonesia memiliki pemimpin yang seperti itu