Berawal dari pertanyaan “Mengapa Islam turun di Jazirah Arab, padahal pada waktu itu terdapat dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.”
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa membaca penjelasan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al Buthy dalam kitabnya “Fiqh al Sirah”. Beliau menjelaskan dengan sangat apik mengenai hikmah diutusnya Rosulullah di Jazirah Arab, dan bukan tempat yang lain.
Pertama-tama, al Buthi menjelaskan bahwa sebelum Islam turun, dunia memang dikuasai oleh dua negara adidaya: Persia dan Romawi, kemudian menyusul India dan Yunani. Persia, atau kini dikenal dengan Iran, adalah tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai mitos keagamaan dan filosofis yang saling bertentangan. Ajaran Zoroaster yang terkenal itu, juga berasal dari wilayah ini. Di antara kebejatan ajaran ini adalah anjuran perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya, atau saudara perempuannya. Oleh karenanya, Kaisar Persia yang berkuasa pada abad 5 Masehi, Kaisar Yazdasir II, mempersunting anak perempuannya sendiri.
Di belahan bumi yang lain, terdapat kekaisaran Romawi, daerah yang kini disebut Italia, yang dibutakan oleh semangat kolonialisme. Kekuatan militernya yang sudah cukup maju membuatnya berambisi untuk menaklukkan daerah lain serta mengembangkan agama Nasrani dengan cara yang tidak manusiawi.
Sementara itu, India dikenal dengan kebejatan moral, agama, maupun sosialnya. Sedangkan Yunani tenggelam dalam lautan khurafat dan mitos-mitos. Lalu bagaimana dengan Jazirah Arab saat itu?
Bangsa Arab pada saat itu hidup dengan tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia modern. Bangsa Arab tidak memiliki kemegahan dan peradaban Persia, tidak memiliki kekuatan militer ala Romawi untuk melakukan ekspansi, juga tidak memiliki kemegahan filosofis dan dialektika ala Yunani yang menenggelamkan mereka pada lautan khurafat dan mitos.
Bangsa Arab diibaratkan sebagai bangsa yang masih mempunyai “sifat dasar kemanusiaan”, yang belum dicemari oleh berbagai produk kebudayaan dan pemikiran menyesatkan. Mereka terkenal dengan sifat penolong, dermawan, setia kawan, mempunyai harga diri yang tinggi, patriotis, serta kesucian. Hanya saja mereka tidak memiliki pengetahuan yang bisa mengantarkannya ke arah kehidupan yang benar, sehingga mereka membunuh anak dengan dalih kesucian dan kehormataan, memusnahkan kekayaan dengan dalih kedermawanan, dan menggemari peperangan dengan dalih harga diri dan kepahlawananan.
Apakah fenomena yang terjadi di masyarakat Arab ini bukan bentuk penyimpangan? Jelas penyimpangan. Namun kondisinya sama sekali berbeda dengan berbagai penyimpangan di belahan bumi yang lain. Bangsa Arab melakukan ini semua karena ketidaktahuannya, kerena mereka sama sekali tidak mengenal kemegahan pemikiran dan peradaban, sedangkan bangsa lain seperti yang telah disebutkan, melakukan penyimpangan ini dengan penuh kesadaran dan dibimbing oleh kemegahan peradaban, pengetahuan, dan kebudayaan.
Pengetahuan semacam ini cukup untuk kita mengetahui hikmah dipilihnya Jazirah Arab sebagai tempat turunnya Islam. Bahwa Bangsa Arab dengan sifat dasar kemanusiaannya itu, walaupun terjadi banyak penyimpangan, akan lebih mudah untuk diluruskan dibanding bangsa lain yang melakukan penyimpangan dengan berbagai instrumen pengetahuan. Bangsa Arab diibaratkan sebagai orang-orang yang berada dalam “masa pencarian” sehingga mereka tidak akan mengingkari bebodohannya serta tidak akan membanggakan kemegahan pemikiran yang tidak dimilikinya.
Selain itu, kenyataan bahwa Bangsa Arab tidak tercemar dengan berbagai pemikiran filosofis, membuat Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam dapat terhindar dari tuduhan bahwa Muhammad hanyalah mata rantai dari pengalaman kebudayaan dan pemikiran yang ada sebelumnya. (Perlu diingat juga bahwa Muhammad disifati sebagai seorang “ummi” yang tidak bisa baca tulis sehingga tidak memungkinkan Muhammad mengakses berbagai produk pemikiran saat itu).
Baca Juga: Kenapa Allah Memberikan Nama Risalah nabi Muhammad dengan Agama Islam?
Akhirnya kita masuk pada titik persoalannya. Bagaimana dengan keadaan masyarakat Jawa pada saat itu? Apakah kondisi sosial-budaya di tanah Jawa tidak memenuhi syarat sebagai tempat diturunkannya risalah keislaman sebagaimana kondisi bangsa Arab pada saat itu?
Menilik beberapa catatan sejarah, di Pulau Jawa sendiri diperkirakan sudah ada kerajan Hindu sejak abad ke-4 masehi —sedangkan Nabi Muhammad baru lahir pada paruh akhir abad ke-6 M. Keberadaan kerajaan yang kita kenal sebagai Kerajaan Tarumanegara ini, dibuktikan dengan penemuan beberapa prasasti di Bogor: Prasasti Kebun Kopi, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Jambu, dan Prasasti Pasir Awi. Kerajaan ini tercatat pernah melakukan penggalian sungai sepanjang 12 km hanya dalam waktu 21 hari. Untuk memohon keberkaan atas penggalian sungai tersebut, Raja Purnawarman, raja yang memerintah pada waktu itu, mengorbankan sekitar 1.000 ekor sapi kepada Brahmana —Pembangunan semacam ini sudah cukup maju untuk konteks zaman itu.
Kerajaan Tarumangara hanya salah satu contoh saja. Bahkan kerajaan ini pun disebut-sebut sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya, Kerajaan Salakanagara, yang berdiri sekitar abad 2 masehi. Belum lagi dengan agama Kapitayan, sebagaimana dituturkan oleh (mendiang) Agus Sunyoto dalam bukunya, Atlas Walisongo, yang dikatakan memuja sembahan utama yang disebut “Sanghyang Taya”, yang berati kosong, hampa, suwung. Taya diartikan sebagai yang absolut, yang tidak bisa dibayang-bayangkan. Kemudian penduduk Jawa kuno mendefinisikan sang Hyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa”, tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Aliran kepercayaan dengan kemapanan filosofis ini diperkirakan sudah mulai berkembang bahkan sejak zaman purbakala, sangat jauh dari masa kenabian.
Bertolak pada segelintir catatan sejarah di atas, dalam spekulasi saya, tanah Jawa sudah cukup modern dan berperadaban, sehingga tidak cukup memenuhi syarat sebagai tempat tumbuhnya agama Islam. Masyarakat Jawa tidak cukup “ummi” sebagaimana sifat itu disematkan pada masyarakat Arab saat itu. Di samping, dipilihnya Jazirah Arab sebagai tempat turunnya risalah Islam merupakan kelanjutan dari serangkain peristiwa yang telah terjadi ribuan tahun sebelumnya, yaitu perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk membuang anak beserta istri mudanya ke daerah tandus ini.
Terlepas dari itu semua, agaknya tanah Jawa memang tidak terlalu cocok dijadikan tempat turunnya risalah Islam. Saya membayangkan, jika memang Islam turun di tanah Jawa, prosesi ibadah haji mejadi sangat heroik, kalau tidak boleh dibilang menggelikan. Para jamaah haji harus tawaf mengelilingi Borobudur, dilanjutkan sa’i, lari-lari kecil dari puncak Gunung Merapi menuju puncak Gunung Merbabu bolak-balik tujuh kali. Ngedab-edabi.