Tulisan ini berangkat dari keresahan mahasantri, yaitu Ia yang memegang peranan sebagai santri dan sekaligus seorang mahasiswa. Dalam dunia pesantren, konsep barakah dipercaya sangat bertuah, tidak tampak tapi sangat terasa. Hampir seluruh santri menjunjung tinggi barokah yang terwujud dalam bentukan akhlak dan rasa ketaatan yang tinggi kepada sosok guru.
Kondisi ini dihadapkan pada realita mahasiswa yang perlu membangun sikap kritisnya. Bahkan beberapa pengajar menuntut mahasiswa memberdayakan daya kritisnya. Tetapi jika daya kritis tersebut digunakan untuk mengkritik guru yang bersangkutan, ia akan dibilang tidak memiliki adab. Si Mahasantri seketika tercekat, berkahkah ilmu saya jika melakukan demikian? Bagaimana sebenarnya korelasi antara sikap kritis dan akhlak di antara murid dan guru?
Bersikap kritis belum tentu tidak punya adab. Namun, bersikap kritis berpotensi menjadi tidak beradab jika penyampaian kritik tidak memperhatikan norma-norma yang ada. Titik temu antara sikap kritis dengan adab terletak pada cara penyampaian kritik dan sasaran kritik. Cara penyampaian dapat berupa gestur tubuh, intonasi suara, atau pilihan kata yang tepat. Sementara sasaran kritik adalah opini dari dosen, bukan reputasi dosennya. Kita boleh saja berbeda pendirian, tetapi tetap dalam koridor norma kesopanan dan tetap menjunjung akhlak. Sikap kritis juga membentuk benteng pertahanan pikiran kita terhadap ketidak benaran.
Tidak dipungkiri bahwa ada beberapa dosen yang anti-kritik dan ada pula mahasiswa memberikan kritik guna “mengetes” dosennya sebagai unjuk diri belaka. Ini dipengaruhi oleh budaya kita yang mengedepankan “siapa” yang berbicara dan bukan “apa” yang dibicarakan. Dalam kondisi hirarkisme tata sosial di tubuh birokrasi misalnya, seorang atasan tak bisa diomongi, ia hanya punya ‘kewajiban’ untuk “mengomongi”. Kondisi seperti itu membuat orang menjadi antikritik, tak bisa mendengarkan apa pun yang dia anggap mengkritiknya atau menyalahkannya. Saking tak biasanya mendengarkan, bahkan terkadang ia tak tahu bahwa sesungguhnya ia tengah dipuji. Ketika Ia terbiasa ‘berkuasa’ dan ‘paling benar’, maka kalimat pujian justru ia takutkan sebagai perongrong kekuasaan dan kebenarannya.
Komunikasi itu gampang-gampang sulit. Maksudnya, tampaknya gampang tapi ternyata sulit, tampaknya sulit ternyata gampang. Kelihatannya sepele, tapi jika gagal akan fatal akibatnya. Kondisi tersebut didasarkan atas beberapa faktor seperti: bahasa yang digunakan, situasi, konteks komunikasi, latar belakang komunikasi, latar belakang komunikator dan komunikan. Dan yang substansial dalam komunikasi adalah apakah kedua belah pihak terbuka atau tidak untuk berkomunikasi. Jika seseorang terbuka untuk dialog, maka bahasa akan mudah diupayakan. Tapi kalau ia sudah tertutup, maka menggunakan bahasa apapun pasti akan nihil hasilnya.
Di luar istilah dikotomi guru dan murid (dengan berbagai istilahnya) di atas, ada sosok ketiga yang sebenarnya menjadi kuda hitam pembahasan kita, yakni “murid yang mengajar.” Istilah ini penting diperkenalkan karena banyak sekali orang yang level sebenarnya adalah murid tetapi karena kondisi tertentu terpaksa dia berada di posisi pengajar, padahal masih jauh dari kata layak untuk mengajar. Dalam hal ini ada dua tipe “murid yang mengajar”, yaitu:
Pertama, mereka yang merasa bahwa kapasitasnya adalah murid (pembelajar), tapi kebetulan saja mengajar. Karena rasa tahu diri yang tinggi, mereka mengajar dengan persiapan yang matang dan menempatkan diri sebagai murid di depan orang lain, pun ketika dihadapan murid-murid yang ia ajar. Ia beranggapan bahwa murid adalah cakrawala lain yang akan membuka wawasannya dengan daya kritis yang dimilikinya. Mereka adalah kelompok yang baik dan beruntung. Baik karena sadar pada kemampuannya dan beruntung karena mendapatkan kesempatan mengajar sehingga pemahamannya makin terasah seiring waktu. Sesuai kaidahnya, efektifitas ilmu adalah dengan mengajarkannya pada orang lain. Tipe ini adalah guru yang rendah hati dan peduli.
Kedua, mereka yang merasa dirinya sebagai penentu keberkahan bagi orang lain. Ia lupa pada keterbatasan dirinya yang sejatinya adalah pembelajar. Ia justru fokus pada keterbatasan para murid yang dia ajar. Akhirnya dia gila penghormatan. Atas nama guru, ia menginginkan muridnya memperlakukannya spesial. Diksi “tidak barakah” menjadi senjata utama yang dibawanya pada siapa pun yang mengkritisinya. Beberapa bahkan melarang murid-murid bertanya apabila tidak paham, tentu agar kebodohannya tidak terungkap.
Tipe kedua ini sangat berbahaya. Seorang alim biasanya justru sangat butuh barakah dari para murid. Sebagai penutup, teringat ungkapan indah as-Syahid Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi:
“Jika apa yang aku sampaikan memberikan kejelasan padamu, semata bukan dariku, tapi pasti di antara kalian mendapat siraman rahmat Allah dan Allah berkenan membuka pintu pemahaman hingga atsar-nya sampai padaku.”
Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi