Manusia melakukan semua aktivitasnya tentunya dengan sebuah dorongan yang bersifat intrinsik. Dorongan tersebut merupakan hawa nafsu. Secara bahasa, hawa berarti ‘keinginan’ sedangkan nafsu berarti ‘jiwa’. Dengan demikian hawa nafsu adalah keinginan jiwa untuk melakukan hal-hal sehingga menjadi impuls (dorongan hati) dan dorongan tersebut dapat berupa baik maupun buruk.
Manusia adalah ciptaan Allah yang dianugerahi perangkat fisik (tubuh), pikiran (akal), serta mental (jiwa). Mereka melakukan segala tindakan tentunya dengan motif tertentu. Motif tersebut adakalanya berasal dari jiwa. Sedangkan jiwa terkadang mendorong pada kebaikan yang berimplikasi pada kebaikan, dan adakalanya mendorong pada keburukan yang berimplikasi pada keburukan.
Ketika jiwa mendorong pada keburukan yang dapat merusak dirinya dan orang lain maupun lingkungan sekitar maka dorongan jiwa tersebut adalah nafsu amarah. Nafsu amarah adalah nafsu yang tersesat. Ia selalu mengajak pada hal-hal negatif seperti kejahatan dan keburukan lainnya. Di antara nafsu amarah yaitu marah, iri dengki, serakah, ghibah, namimah, mencuri, hingga perbuatan keji lainnya yang tidak hanya menguasai dan merusak dirinya namun dapat membahayakan dan merugikan lingkungan sekitar.
Selain nafsu amarah, ada nafsu lawwamah atau nafsu yang terbelenggu. Nafsu lawwamah cenderung hanya merugikan dan merusak dirinya sendiri. Contohnya seperti overthinking, kecewa, putus asa, cemas, takut, sedih, minder, malu, ragu, menyesal, meratapi masa lalu, menyalahkan keadaan, juga menyalahkan diri sendiri maupun orang lain.
Manusia memang wajar merasakan hal demikian. Namun apabila seseorang terus menerus mengikuti nafsu lawwamah tersebut dengan merasakan takut berlebihan, terlalu meratapi nasib hingga tak ingin berusaha, di situlah kinerja syaitan bekerja. Ketika hal itu terjadi, maka orang tersebut sulit untuk mengenal arti sabar, ikhlas, dan tawakal. Mengapa? Karena jiwanya menjadi kelemahan dirinya sendiri yang dimanfaatkan oleh bisikan syaitan sehingga terbelenggu dan terkurunglah jiwanya ke dalam jurang kegelapan.
Gus Mauhib, rektor Universitas KH Abdul Chalim mengatakan bahwa seseorang yang mengikuti hawa nafsunya (nafsu amarah dan lawwamah) seperti seseorang minum air laut yang dahaganya tak pernah terpenuhi.
Terlebih lagi, Imam al Busiri muridnya Imam Asy Syadzili mengingatkan dalam qosidah burdahnya bahwa jangan pernah sekali-kali mengarahkan nafsu pada kemaksiatan. Ketika seseorang cenderung mengikuti hawa nafsu dan mengarahkan pada kemaksiatan maka sama halnya ia mencampakkan dirinya ke dalam kebinasaan hanya karena terlena dengan kesenangan yang sesaat.
Imam al Busiri dalam burdahnya menegaskan bahwa hawa nafsu tersebut harus segera dikendalikan. Beliau mengatakan:
وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى – حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
“Nafsu itu bagaikan bayi, apabila engkau biarkan akan tetap menyusu. Namun apabila engkau sapih, maka bayi akan berhenti sendiri”
Tidak setiap nafsu konotasinya pada keburukan. Ketika nafsu dapat dikendalikan dan diarahkan pada kebaikan, maka di situlah letak nafsu yang tenang, nafsu muthmainnah. Nafsu muthmainnah sangat berbeda dengan nafsu amarah maupun lawwamah. Nafsu ini adalah nafsu yang diridloi Allah. Hal ini diabadikan dalam surat Al-Fajr ayat 27-30, yang berbunyi:
ويٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuahnmu dengan rida dan diridai! Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku! Dan masuklah ke dalam surga-Ku!”
Nafsu muthmainnah adalah nafsu yang rido terhadap apa yang ia terima sebagai takdir Allah. Ia memiliki ketenangan karena memiliki keyakinan bahwa segala hal yang telah terjadi maupun akan terjadi sudah menjadi skenario Allah untuknya. Ia berpandangan bahwa skenario Allah lebih baik dari rencananya. Sehingga tidak lagi membedakan ekspetasi manusia berupa kebahagian dan penderitaan, yang ada hanyalah bagaimana ia terus bersyukur dan berusaha untuk memperbaiki kualitas diri serta ibadah dalam rangka mendekat kepada Allah.
Seseorang yang cenderung mengendalikan nafsunya dan mengarahkannya pada kebaikan sehingga menghasilkan ketenangan dalam kehidupan baik pada beribadah maupun pergaulan, maka akan menjadi gerbang pertama untuk mendekat dan berhubungan kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh seorang sufi dari Bashrah, Irak, Samnun bin Hamzah atau dikenal dengan al-Muhib. Beliau mengatakan:
أول وصال العبد للحق هجرانه لنفسه وأول هجران العبد للحق مواصلته لنفسه
“Pertama kali terwujudnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yaitu saat terputusnya hubungan ia dengan nafsunya, dan pertama kali terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yaitu ketika terwujudnya hubungan ia dengan nafsunya”.
sumber: qosidah burdah dan kitab al Mukhtar min kalam al Akhyar
Masya’allah
Masya Allah, tumbuh dan berkembang lah Darasna